Minggu, 19 April 2015

ALTERASI GEOTHERMAL



(GEOTHERMAL) alterasi 

Alterasi 
Fluida dan batuan reservoir dalam suatu sistem panasbumi saling berinteraksi, sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi fasa padat maupun komposisi fasa cair. Perubahan komposisi ini merupakan hasil nyata dari proses reaksi kimiawi. Ada beberapa definisi dari beberapa ahli geologi mengenai alterasi, antara lain:
1. Perubahan komposisi mineralogi dari suatu batuan karena aktivitas hydrothermal (Courty, 1945).
2. Digunakan dalam klasifikasi pada fasa metamorfosis yang bersifat lokal (Jim, 1956).
3. Dimaksudkan sebagai gejala ubahan pada batuan dan mineral sekunder (supergene) seperti replacement, oksidasi dan hidrasi.
Interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan yang dilewatinya (batuan dinding), akan menyebabkan terubahnya mineral-mineral primer menjadi mineral ubahan (alteration minerals), maupun fluida itu sendiri.
Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks, melibatkan perubahan mineralogi, kimiawi, dan tekstur, hasil interaksi fluida dengan batuan yang dilewatinya (Pirajno, 1992). Perubahan-perubahan tersebut akan tergantung pada karakter batuan dinding, karakter fluida (Eh, pH), kondisi tekanan maupun temperatur pada saat reaksi berlangsung (Guilbert dan Park, 1986), konsentrasi, serta lama aktivitas hidrotermal (Browne, 1991 dalam Corbett dan Leach, 1996). Walaupun faktor-faktor di atas saling terkait, tetapi temperatur dan kimia fluida kemungkinan merupakan faktor yang paling berpengaruh pada proses ubahan hidrotermal (Corbett dan Leach, 1996). Henley dan Ellis (1983 dalam Pirajno, 1992) percaya bahwa ubahan hidrotermal pada sistem epitermal tidak banyak bergantung pada komposisi batuan dinding, akan tetapi lebih dikontrol oleh kelulusan batuan, temperatur dan komposisi fluida, Laju alir fasa cair dan fasa uap, Permeabilitas batuanKonsentrasi CO2 dan H2S dalam fluida mempunyai pengaruh yang penting pada tiap mineralogi sekunder,dan asal usul terjadinya pemanasan.
Terdapat beberapa tipe alterasi secara hydrothermal, menurut Hochstein adalah sebagai berikut:
1. Alterasi Langsung (Pengendapan)
Untuk dapat terbentuk secara langsung, maka batuan reservoir panasbumi harus memiliki celah, dimana dengan adanya celah ini fluida reservoir dapat mengalir. Saluran ini antara lain berupa joint, fracture, fault, vug pore dan fissure.
2. Alterasi Replacement (Penggantian)
Kebanyakan batuan mengandung mineral utama yang tidak stabil. Mineral ini memiliki kecenderungan untuk digantikan dengan mineral yang lebih stabil pada kondisi yang baru.
3. Alterasi Leaching (Pelepasan)
Terjadinya uap yang terasamkan secara oksidasi dari gas H2S, maka batuan yang memiliki mineral pengganti (attacks rock) akan menggantikan mineral primer tanpa mengganggu lubang yang telah ada. Alterasi ini dapat dikelompokkan berdasarkan mineral yang dihasilkan, yaitu:
a. Albitisasi
Alterasi yang dihasilkan dari perubahan mineral lain terutama K feldspar oleh larutan yang kaya Na.
b. Alunitisasi
Dijumpai pada batuan beku berbutir halus yang terdapat disekeliling vein epithermal, dihasilkan oleh aktivitas air yang bersifat sulfat.
c. Argilitisasi
Biasa ditemukan pada batuan samping dari vein dimana cairan pembentuk akan mengubah mineral feldspar menjadi lempung.
d. Karbonitisasi
Dihasilkan oleh intrusi atau pembentukan mineral karbonat setempat.
e. Chloritisasi
Mineral sebelumnya, umumnya berupa mineral alluminous ferromagnesian silicate.
f. Epidotisasi
Perubahan mineral alluminous ferromagnesian silicate menjadi epidote terdapat pada chlorite.
g. Silisifikasi
Dihasilkan oleh introduksi silica dari larutan magmatic akhir.
h. Piritisasi
Suatu perubahan mineral ferromagnesian menjadi pirite.



Tipe Produk Pengganti Mineral Primer Karena Alterasi Hydrothermal
Original mineral
            replacement products
volcanic glass
zeolite* (e.g. mordenite, laumontite, criscobalite, quartz. calcite. clays (e.g. montmoriloite)
Magnetite/ilminite/titanoo­magnetite.
pyrite, leucoxene: spnene,pyrhotite, hematite
pyroxene/ampnibole/olivine/ biotite
chlorite, illite. quartz, pyirite, calcite, anhydrite
calcic plagioclase
calcite, albite, adularia, vairakite, quartz. anhydrite. chlorite. Illite, kaolin, monmorilonite. epidote
anorthoclase/sanidine/orthoclase
adularia


Pada daerah yang dipengaruhi oleh aktivitas hydrothermal, hasil alterasi batuan diharapkan memberikan informasi kondisi fisik dan kimia selama proses alterasi berlangsung. Keadaan ini dicerminkan dengan adanya asosiasi mineral sekunder yang terbentuk. Hayashi (1968), mengelompokkan proses alterasi berdasarkan mineral sekunder juga gambaran fisik dan kimiawi selama proses berlangsung.
Creasey (1966) membuat klasifikasi ubahan hidrotermal pada endapan tembaga porfir menjadi tiga tipe yaitu propilitik, argilik, potasik, dan himpunan kuarsa-serisit-pirit.Lowell dan Guilbert (1970), membuat model alterasi-mineralisasi juga pada endapan bijih porfir, menambahkan istilah zona filik, untuk himpunan mineral kuarsa + serisit + pirit ± klorit ± rutil ± kalkopirit.

1. Tipe propilitik
Dicirikan oleh kehadiran klorit disertai dengan beberapa mineral epidot, ilit/serisit,
kalsit, albit, dan anhidrit .Terbentuk pada temperatur 200-300°C pada pH near neutral, dengan salinitas yang beragam, umumnya pada daerah yang mempunyai permeabilitas rendah.
Menurut Creasey (1966) terdapat empat kecenderungan himpunan mineral yang hadir
pada tipe propilitik, yaitu :
a. klorit-kalsit-kaolinit
b. klorit-kalsit-talk
c. klorit-epidot-kalsit
d. klorit-epidot.

2. Tipe argilik
Pada tipe argilik terdapat dua kemungkinan himpunan mineral, yaitu muskovit-kaolinit- monmorilonit dan muskovit-klorit-monmorilonit. Himpunan mineral pada tipe argilik terbentuk pada temperatur 100-300°C (Pirajno, 1992), fluida asam hingga neutral dan salinitas yang rendah.

3. Tipe potasik
Tipe ini dicirikan oleh melimpahnya himpunan muskovit-biotit-alkali felsparmagnetit. Anhidrit sering hadir sebagai asesori, serta sejumlah kecil albit dan titanit (sphene) atau rutil kadang terbentuk. Ubahan potasik terbentuk pada daerah yang dekat batuan beku intrusif yang terkait, fluida yang panas (>300°C), salinitas tinggi, dan dengan karakter magmatik yang kuat.

4. Tipe filik
Tersusun oleh himpunan mineral kuarsa-serisit-pirit, yang umumnya tidak mengandung mineral-mineral lempung atau alkali felspar. Kadang mengandung sedikit anhidrit, klorit, kalsit, dan rutil. Terbentuk pada temperatur sedang sampai tinggi (sekitar 230°-400°C), fluida asam hingga neutral dengan salinitas yang beragam, pada zona yang permeabel dan pada batas dengan urat.

5. propilitik dalam (inner propylitic),
Menurut Hedenquist dan Lindqvist (1985 dalam Pirajno, 1992) zona ubahan pada sistem epitermal sulfidasi rendah (fluida kaya klorida, pH mendekati netral) umumnya juga menunjukkan zona ubahan seperti pada sistem porfir, tetapi menambahkan istilah inner propylitic untuk zona pada bagian yang bertemperatur tinggi (>300°C), yang dicirikan oleh kehadiran epidot, aktinolit, klorit, dan ilit.

6. Advanced argillic
Sedangkan untuk sistem epitermal sulfidasi tinggi (fluida kaya asam-sulfat), ditambahkan istilah advanced argillic yang dicirikan oleh kehadiran himpunan mineral pirofilit + diaspor ± andalusit ± kuarsa ± tourmalin ± enargit-luzonit (untuk temperatur tinggi, 250-350°C), atau himpunan mineral kaolinit + alunit ± kalsedon ± kuarsa ± pirit (untuk temperatur rendah, <180°C).

7. Tipe skarn
Batasan mineralogi skarn sampai sekarang masih kabur (Taylor 1996). Masalah yang lain, banyak batuan skarn yang memperlihatan tekstur ukuran butir halus, yang mempersulit dalam identifikasi mineral pada batuan skarn. Walaupun demikian terdapat mineralogi yang sangat umum yang sering didapatkan pada batuan skarn, yaitu kelompok garnet, piroksen, amfibol, epidot dan magnetit. Mineral lain yang umum adalah wolastonit, klorit, biotit dan kemungkinan vesuvianit (idokras). Garnet-piroksen-karbonat adalah kumpulan mineral yang paling umum dijumpai pada batuan induk karbonat yang orisinil (Taylor 1996). Amfibol umumnya hadir pada skarn sebagai mineral tahap akhir yang meng-overprint mineral-mineral tahap awal. Aktinolit (CaFe) dan tremolit (CaMg) adalah mineral amfibol yang paling umum hadir pada skarn. Jenis piroksen yang sering hadir adalah diopsid (CaMg) dan hedenbergit (CaFe). Terbentuk pada fluida yang mempunyai salinitas tinggi dengan temperatur tinggi (sekitar 300°-700°C).

8. Tipe Greisen
Himpunan mineral pada greisen adalah kuarsa- muskovit (atau lipidolit) dengansejumlah mineral asesori seperti topas, tourmalin, dan fluorit yang dibentuk oleh ubahan metasomatik post-magmatik granit (Best 1982, Stemprok 1987 dalam Evans 1993).Masalahnya, seringkali kita mendapati dalam satu contoh batuan ditemukan beberapa mineral dari dua tipe atau lebih. Prosedur yang baik untuk tahap awal observasi batuan tersebut di atas adalah menulis semua mineral yang nampak sebagai himpunan mineral. Apabila dalam satu batuan dijumpai mineral-mineral klorit, kuarsa, kalsit, dan kaolinit, maka disebut sebagai himpunan klorit-kuarsa-kalsit-kaolinit.

Kamis, 29 Januari 2015

BENTUK LAPISAN BATUBARA

Bentuk cekungan, proses sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah proses coalification akan menentukan bentuk lapisan batubara. Mengetahui bentuk lapisan batubara sangat menentukan dalam menghitung cadangan dan merencanakan cara penambangannya.
Dikenal beberapa bentuk lapisan batubara yaitu :
·   Bentuk Horse Back
·   Bentuk Pinch
·   Bentuk Clay Vein
·   Bentuk Burried Hill
·   Bentuk Fault
·   Bentuk Fold
1.    Bentuk Horse Back
 Bentuk ini dicirikan oleh lapisan batubara dan lapisan batuan sedimen yang menutupinya melengkung ke arah atas, akibat adanya gaya kompresi. Tingkat perlengkungan sangat ditentukan oleh besaran gaya kompresi. Makin kuat gaya kompresi yang berpengaruh, makin besar tingkat perlengkungannya. Ke arah lateral lapisan batubara mungkin akan sama tebalnya atau menjadi tipis. Kenampakan ini dapat terlihat langsung pada singkapan lapisan batubara yang tampak/dijumpai di lapangan (dalam skala kecil), atau dapat diketahui dari hasil rekontruksi beberapa lubang pemboran eksplorasi pada saat dilakukan coring secara sistematis. Akibat dari perlengkungan ini lapisan batubara terlihat terpecah-pecah akibatnya batubara menjadi kurang kompak. Pengaruh air hujan, yang selanjutnya menjadi air tanah, akan mengakibatkan sebagian dari butiran batuan sedimen yang terletak di atasnya, bersama air tanah akan masuk di antara rekahan lapisan batubara. Kejadian ini akan megakibatkan apabila batubara tersebut ditambang, batubara mengalami pengotoran (kontaminasi) dalam bentuk butiran-butiran batuan sedimen sebagai kontaminan anorganik, sehingga batubara menjadi tidak bersih. Keberadaan pengotor ini tidak diinginkan, apabila batubara tersebut akan dipergunakan sebagai bahan bakar.

2 . Bentuk Pinch 
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada umumnya bagian bawah (dasar) dari lapisan batubara merupakan batuan yang plastis misalnya batulempung sedang di atas lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh batupasir yang  secara lateral merupakan pengisian suatu alur. Sangat dimungkinkan, bentuk pinch ini bukan merupakan penampakan tunggal, melainkan merupakan penampakan yang berulang-ulang. Ukuran bentuk pinch bervariasi dari beberapa meter sampai puluhan meter. Dalam proses penambangan batubara, batupasir yang mengisi pada alur-alur tersebut tidak terhindarkan ikut tergali, sehingga keberadaan fragmen - fragmen batupasir tersebut juga dianggap sebagai pengotor anorganik. Keberadaan pengotor ini tidak diinginkan apabila batubara tersebut akan dimanfaatkan sebagai bahan bakar.

3 . Bentuk Clay Vein 
Bentuk ini terjadi apabila di antara dua bagian lapisan batubara terdapat urat lempung ataupun pasir. Bentuk ini terjadi apabila pada satu seri lapisan batubara mengalami patahan, kemudian pada bidang patahan yang merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung ataupun pasir. Apabila batubaranya ditambang, bentukan Clay Vein ini dipastikan ikut tertambang dan merupakan pengotor anorganik (mineral matter) yang tidak diharapkan. Pengotor ini harus dihilangkan apabila batubara tersebut akan dikonsumsi sebagai bahan bakar.



4 . Bentuk Burried Hill 
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana batubara semula terbentuk suatu kulminasi sehingga lapisan batubara seperti “terintrusi”. Sangat dimungkinkan lapisan batubara pada bagian yang “terintrusi” menjadi menipis atau hampir hilang sama sekali. Bentukan intrusi mempunyai ukuran dari beberapa meter sampai puluhan meter. Data hasil pemboran inti pada saat eksplorasi akan banyak membantu dalam menentukan dimensi bentukan tersebut. Apabila bentukan intrusi tersebut merupakan batuan beku, pada saat proses penambangan dapat dihindarkan, tetapi apabila bentukan tersebut merupakan tubuh batupasir, dalam proses penambangan sangat dimungkinkan ikut tergali. Oleh sebab itu ketelitian dalam perencanaan penambangan sangat diperlukan, agar fragmen - fragmen intrusi tersebut dalam batubara yang dihasilkan dari kegiatan penambangan dapat dikurangi sehingga keberadaan pengotor anorganik tersebut jumlahnya dapat diperkecil.
 
             
 
5 . Bentuk Fault (Patahan) 
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana deposit batubara mengalami beberapa seri patahan. Apabila hal ini terjadi, akan mempersulit dalam melakukan perhitungan cadangan batubara. Hal ini disebabkan telah terjadi pergeseran perlapisan batubara ke arah vertikal. Dalam melaksanakan eksplorasi batubara di daerah yang memperlihatkan banyak gejala patahan, diperlukan tingkat ketelitian yang tinggi, tidak dibenarkan hanya berpedoman pada hasil pemetaan geologi permukaan saja. Oleh sebab itu, disamping kegiatan pemboran inti, akan lebih baik bila ditunjang oleh data hasil penelitian geofisika.  
Dengan demikian rekonstruksi perjalanan lapisan batubara dapat diikuti dengan bantuan hasil interpretasi dari data geofisika. Apabila patahan-patahan secara seri didapatkan, keadaan batubara pada daerah patahan akan ikut hancur. Akibatnya keberadaan kontaminan anorganik pada batubara tidak terhindarkan. Makin banyak patahan yang terjadi pada satu seri sedimentasi endapan batubara, makin banyak kontaminan anorganik yang terikut pada batubara pada saat ditambang. 



6 . Bentuk Fold (Perlipatan)
Bentuk ini terjadi apabila di daerah endapan batubara, mengalami proses tektonik hingga terbentuk perlipatan. Perlipatan tersebut dimungkinkan masih dalam bentuk sederhana, misalnya bentuk antiklin atau bentuk sinklin, atau sudah merupakan kombinasi dari kedua bentuk tersebut. Lapisan batubara bentuk fold, memberi petunjuk awal pada kita bahwa batubara yang terdapat di daerah tersebut telah mengalami proses coalification relatif lebih sempurna, akibatnya batubara yang diperoleh kualitasnya relatif lebih baik. Sering sekali terjadi, lapisan batubara bentuk fold berasosiasi dengan lapisan batubara berbentuk fault. Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah yang banyak perlipatan dan patahan, kegiatan pemboran inti perlu mendapat prioritas utama agar ahli geologi mampu membuat rekonstruksi struktur dalam usaha menghitung jumlah cadangan batubara.

Jenis - Jenis Batubara

Batubara diklasifikasikan menjadi empat kategori umum, berdasarkan "ranking." Mulai dari lignit, subbitumen, bitumen sampai antrasit, mencerminkan kandungan jenis batubara tersebut terhadap jumlah panas dan tekanan yang dihasilakan.

Kandungan karbon batubara merupakan penentu utama dari panas yang dihasilkan, tetapi faktor lain juga mempengaruhi jumlah energi yang terkandung per bobotnya. (Jumlah energi dalam batubara dinyatakan dalam British thermal unit per pon. BTU adalah jumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu satu pon air sebesar satu derajat Fahrenheit.)

Antrasit
Antrasit adalah batubara dengan kadar karbon tertinggi, antara 86 sampai 98 persen, dan nilai panas yang dihasilakan hampir 15.000 BTU per pon. Paling sering digunakan pada alat pemanas rumah.

Sifat batubara jenis Antrasit :
1. Warna hitam sangat mengkilat dan kompak
2. Nilai kalor sangat tinggi, kandungan karbon sangat tinggi.
3. Kandungan air sangat sedikit.
4. Kandungan abu sangat sedikit.
5. Kandungan sulfur sangat sedikit.




Bitumen
Bitumen digunakan terutama untuk menghasilkan listrik dan membuat kokas di industri baja. Pasar batubara yang tumbuh paling cepat untuk jenis ini, meskipun masih kecil, adalah yang memasok energi untuk proses industri. Bitumen memiliki kandungan karbon mulai 45 sampai 86 persen dan nilai panas 10.500 sampai 15.500 BTU per pon.

Subbitumen
Peringkat dibawah bitumen adalah subbitumen, batubara dengan kandungan karbon 35-45 persen dan nilai panas antara 8.300 hingga 13.000 BTU per pon. Meskipun nilai panasnya lebih rendah, batubara ini umumnya memiliki kandungan belerang yang lebih rendah daripada jenis lainnya, yang membuatnya disukai untuk dipakai karena hasil pembakarannya yang lebih bersih.

Sifat batubara jenis bitumine / subbitumine :
1. Warna hitam mengkilat, kurang kompak.
2. Nilai kalor tinggi, kandungan karbon relatif tinggi.
3. Kandungan air sedikit.
4. Kandungan abu sedikit.
5. Kandungan sulfur sedikit.




Lignit (Batu bara muda)
Lignit merupakan batubara geologis muda yang memiliki kandungan karbon terendah, 25-35 persen, dan nilai panas berkisar antara 4.000 dan 8.300 BTU per pon. Kadang-kadang disebut brown coal, jenis ini umumnya digunakan untuk pembangkit tenaga listrik.



Sifat batubara jenis lignit (brown coal) :
1. Warna hitam, sangat rapuh.
2. Nilai kalor rendah, kandungan karbon sedikit.
3. Kandungan air tinggi.
4. Kandungan abu banyak.
5. Kandungan sulfur banyak.
 
 
 
 

Rabu, 28 Januari 2015

KONDISI TEKTONIK INDONESIA



Kepulauan Indonesia adalah salah satu wilayah yang memiliki kondisi geologi yang menarik. Menarik karena gugusan kepulauannya dibentuk oleh tumbukan lempeng-lempeng tektonik besar. Tumbukan Lempeng Eurasia dan Lempeng India-Australia mempengaruhi Indonesia bagian barat, sedangkan pada Indonesia bagian timur, dua lempeng tektonik ini ditubruk lagi oleh Lempeng Samudra Pasifik dari arah timur. Kondisi ini tentunya berimplikasi banyak terhadap kehidupan yang berlangsung di atasnya hingga saat ini. Mari kita perhatikan gambar-gambar di bawah ini.



Gambar di atas menunjukkan kondisi tektonik Kepulauan Indonesia. Garis merah, jingga dan hijau menunjukkan batas-batas lempeng tektonik. Garis merah menunjukkan pemekaran lantai samudra. Garis jingga menunjukkan pensesaran relatif mendatar. Sedangkan garis hijau menunjukkan tumbukan/penunjaman antar lempeng tektonik.

Mari kita perhatikan satu per satu. Garis hijau di sebelah barat Pulau Sumatra dan di sebelah selatan Pulau Jawa, menerus hingga ke Laut Banda, sebelah selatan Flores kemudian membelok ke utara menuju Laut Arafuru (utara Maluku) menunjukkan zona penunjaman Lempeng Hindia-Australia dan Lempeng Eurasia.

Karena di Indonesia bagian timur ini ada lagi Lempeng Samudra Pasifik yang menubruk dari arah timur. Salah satu korban paling parah dari tubrukan tiga lempeng ini adalah Pulau Sulawesi. Tangan-tangannya pada mlintir gak karuan. Ditambah lagi terbentuknya luka sesar mendatar di bagian tengah Pulau Sulawesi.

Penunjaman yang terjadi di sebelah barat Sumatra tidak benar-benar tegak lurus terhadap arah pergerakan Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia. Lempeng Eurasia bergerak relatif ke arah tenggara, sedangkan Lempeng India-Australia bergerak relatif ke arah timurlaut. Karena tidak tegak lurus inilah maka Pulau Sumatra dirobek sesar mendatar (garis jingga) yang dikenal dengan nama Sesar Semangko.

Di sebelah utara Aceh, ada proses pemekaran lantai samudra (garis merah). Saya rasa itu terjadi sebagai bagian dari proses Escape Tectonics akibat tumbukan Lempeng Anak Benua India terhadap Lempeng Eurasia.

Di sebelah utara Papua juga terbentuk zona penunjaman akibat tumbukan Lempeng Samudra Pasifik terhadap Lempeng India-Australia. Pada bagian Kepala Burung, Papua, ini juga terbentuk sesar mendatar (garis warna jingga) yang dikenal dengan nama Sesar Sorong. Masih menjadi perdebatan apakah penyebab Gempa Papua 4 Januari 2009 yang lalu. Sebagian ahli menyebutkan pergerakan aktif Sesar Sorong ini yang menyebabkan gempa, sebagian lagi menyebutkan gempa bersumber dari zona penunjaman di sebelah utara Sesar Sorong. Mengikuti perdebatan para ahli geologi bisa dilihat di blog Dongeng Geologi-nya Pakdhe Rovicky.

Zona penunjaman (warna hijau) yang terbentuk di Samudra Pasifik umumnya sebagai akibat benturan Lempeng Samudra Pasifik dengan Lempeng Eurasia. Sedangkan zona pemekaran (warna merah) sebagai akibat ikutan proses Escape Tectonics setelah terjadinya tumbukan.

Apa implikasinya dari proses tektonik yang begitu rumit tersebut ? Kita lihat gambar kedua.



Gambar di atas menunjukkan sebaran gunungapi (segitiga merah), titik gempa (tanda plus ungu) dan hot spot (tanda bintang jingga). Apa yang terjadi mudah ditebak kan! Rangkaian gunungapi dan titik gempa selalu berasosiasi dengan zona penunjaman. Animasi proses penunjamannya bisa dilihat pada postingan sebelumnya (lihat Animasi Mekanisme Penunjaman Kerak Samudra). Pulau Sumatra, Jawa, Flores, Maluku, Sulawesi dan bagian utara Papua akan rawan dengan gunungapi dan gempa. Emang sudah dari sono-nya begitu. Hanya Pulau Kalimantan yang relatif adem-ayem karena memang posisinya gakdekat-dekat dengan TKP …hehe. (cuma sering banjir tiap tahun, ditambah lagi kebakaran hutan)

Namun tidak seluruhnya kita anggap bencana. Erupsi gunungapi yang berupa abu gunungapi membawa unsur hara yang menyuburkan tanah. Makanya tanah di Jawa pada subur. Tanam padi tumbuh padi (ya iyalah…masak ya iya donk!). Intrusi-intrusi dangkal di sekitar gunungapi menyediakan energi panas bumi yang sangat besar yang bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Endapan mineral logam, seperti emas, tembaga dan nikel, akan banyak dijumpai berasosiasi dengan lingkungan gunungapi (lihat tulisan Pak Awang Satyana di Plate Tectonics : Tidak Seluruhnya Bencana). Kita belum bicara tentang potensi migas dan batubara lho ya! Konteksnya agak sedikit berbeda.

Sayang sekali kalau Kepulauan Indonesia yang kaya ini penduduknya banyak berada di bawah garis kemiskinan akibat keliru mengelola sumberdaya alam yang begitu besar.

Identifikasi Pergerakan Tektonik Lempeng Indonesia

Tatananan geologi Indonesia cukup kompleks, hal ini dibuktikan dengan keberaadaan dan sebaran data geologi yang meliputi seluruh wilayah administratif Indonesia. Perkembangan penelitian geologi Indonesia sampai saat ini memang belum maksimal tapi penelitian dan pengembangan pendekatan teknologi terus digalakkan.

Berikut kita akan melihat perkembangan Pergerakan Tektonik Lempeng Indonesia yang berdampak pada potensi terjadinya Gempa Tektonik.

Kondisi inilah yang mesti kita antisipasi sebagai langkah awal dan berkelanjutan untuk mengenal lebih dulu kriteria Kegempaan (Tektonik atau Vulkanisme). Kondisi tektonik Indonesia yang dilalui oleh 3 (tiga) jenis Tektonik Lempeng Aktif yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Australia dan Lempeng Eurasia memberikan dampak yang cukup besar terhadap periodik kejadian Gempa Tektonik di Indonesia.

a. Potensi Gempa Tektonik Sumatra

Konvergensi miring sepanjang batas Lempeng Sumatra menghasilkan formasi forearc-sliver block yang terletak diantara Sesar Sumatra dan Trench Jawa.

(Memberikan dampak Terjadinya Gempa Tektonik Aceh dan Tsunami Tahun 2004).

b. Batasan Timur Paparan Sunda

Pemusatan Paparan Sunda dengan lempeng Pasifik (OBIX) dihalangi oleh blok Timur Sulawesi, menghasilkan rotasi yang cepat searah jarum jam blok Timur Sulawesi (MANA dan LUWU) relatif terhadap Paparan Sunda.

Rotasi ini memindahkan sekitar sepertiga konvergensi Pasifik-Paparan Sunda ke arah left-lateral slip sepanjang sesar Palu dan utara-selatan sepanjang trench utara Sulawesi dimana terjadi subduksi laut Celebes. Dalam hal ini proses banyak dilakukan oleh litosfer Samudra utara Sulawesi, mengakibatkan tumbukan benua menjadi sebagian kecil proses subduksi daerah kerak Samudra.

(Memberikan dampak Terjadinya Gempa Tektonik Jogja Tahun 2004).

Sebagai bukti, Tahun 2004 Indonesia dikejutkan dengan Pergerakan Lempeng Autralia dan Lempeng Eurasia yang mengakibatkan Sesar Jawa-Sumatra mengalami pergerakan sangat besar yang mengakibatkan Gempa Tektonik Aceh yang disusul oleh Gelombang Tsunami memluluhlantahkan Harta dan Jiwa dalam jumlah ribuan bahkan imbasnya sampai sekitar Asia Tenggara, Tahun 2006 Pergerakan Lempeng Australia yang menunjam Paparan Sunda mengakibatkan Sesar Jawa mengalami pergerakan berimbas terhadap terjadinya Gempa Tektonik Jogja tetapi tidak berdampak pada Gelombang Stunami juga memberi dampak kerugian Harta dan Jiwa dalam jumlah yang besar. Dan yang paling mengejutkan Hari Rabu, 30 Oktober 2009 masyarakat Sumatera Barat dikejutkan dengan gempa secara periodik dan mempunyai pola tertentu yang sumbernya (46 km) dari Kota Padang (Terasa sampai Malaysia dan Singapura) terjadi Gempa Tektonik dengan dengan kekuatan 7,6 Skala Ritcher yang tentunya akan memberikan dampak secara luas (sampai opini ini dimuat masih menunggu pendataan dari Satkorlak).

Gempa Bumi yang tiada hentinya menunjam paparan tektonik Indonesia semestinya bisa dijadikan pelajaran berharga bagi seluruh Stakeholder Bangsa (Pemerintah, Akademisi, Ilmuwan, Peneliti) untuk merumuskan formulasi pendeteksian dini sekitar wilayah rawan bencana serta menggalakkan sosialisasi/pemahaman untuk antisipasi dini penanggulangan bencana alam (gempa bumi). Tentunya hal ini bisa diantsipasi dengan memberikan dukungan kepada peningkatan Program Early Warning System (EWS) dan Mitigasi Bencana Geologi untuk memetakan Zonasi Wilayah Potensi Gempa.

Sudah saatnya air mata bangsa ini berhenti menangis hanya karena ketidakmampuan kita untuk mengidentifikasi bencana alam, saatnya kita bangkit (tidak saling melempar tanggung jawab) bersatu mempersiapkan langkah antisipatif dan indentfikasi kegempaan yang dilaksanakan secara sistematis, berkelanjutan dan terukur untuk meminimalisir potensi dari dampak bencana tersebut diatas. Akhirnya, sebagai hamba Allah SWT kita hanya mampu berikhtiar danFirst Desicion Maker atas semuanya adalah Sang Penguasa Alam. Amin



Lempeng Indonesia

Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan dengan Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng ini akumulasi energi tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi sehingga lepas berupa gempa bumi. Pelepasan energi sesaat ini menimbulkan berbagai dampak terhadap bangunan karena percepatan gelombang seismik, tsunami, longsor, dan liquefaction. Besarnya dampak gempa bumi terhadap bangunan bergantung pada beberapa hal; diantaranya adalah skala gempa, jarak epicenter, mekanisme sumber, jenis lapisan tanah di lokasi bangunan dan kualitas bangunan.

Peristiwa tektonik yang cukup aktif, selain menimbulkan gempa dan tsunami, juga membawa berkah dengan terbentuknya banyak cekungan sedimen (sedimentary basin). Cekungan ini mengakomodasikan sedimen yang selanjutnya menjadi batuan induk maupun batuan reservoir hydrocarbon. Kadungan minyak dan gas alam inilah yang kini banyak kita tambang dan menjadi tulang punggung perekonomian kita sehingga tahun 1990-an.



Peta Tektonik dan Gunung Berapi di Indonesia. Garis biru melambangkan batas antar lempeng tektonik, dan segitiga merah melambangkan kumpulan gunung berapi.Sumber: MSN Encarta Encyclopedia

Indonesia, juga merupakan negara yang secara geologis memiliki posisi yang unik karena berada pada pusat tumbukan Lempeng Tektonik Hindia Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian Utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur laut. Hal ini mengakibatkan Indonesia mempunyai tatanan tektonik yang komplek dari arah zona tumbukan yaitu Fore arc, Volcanic arc dan Back arc. Fore arc merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan zona tumbukan atau sering di sebut sebagai zona aktif akibat patahan yang biasa terdapat di darat maupun di laut. Pada daerah ini material batuan penyusun utama lingkungan ini juga sangat spesifik serta mengandung potensi sumberdaya alam dari bahan tambang yang cukup besar. Volcanic arc merupakan jalur pegunungan aktif di Indonesia yang memiliki topografi khas dengan sumberdaya alam yang khas juga. Back arc merupakan bagian paling belakang dari rangkaian busur tektonik yang relatif paling stabil dengan topografi yang hampir seragam berfungsi sebagai tempat sedimentasi. Semua daerah tersebut memiliki kekhasan dan keunikan yang jarang ditemui di daerah lain, baik keanegaragaman hayatinya maupun keanekaragaman geologinya.

Indonesia merupakan negara yang secara geologis memiliki posisi yang unik karena berada pada pusat tumbukan Lempeng Tektonik Hindia Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian Utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur laut. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan dengan Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Hal ini mengakibatkan Indonesia mempunyai tatanan tektonik yang komplek dari arah zona tumbukan yaitu Fore arc, Volcanic arc dan Back arc. Fore arc merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan zona tumbukan atau sering di sebut sebagai zona aktif akibat patahan yang biasa terdapat di darat maupun di laut. Pada daerah ini material batuan penyusun utama lingkungan ini juga sangat spesifik serta mengandung potensi sumberdaya alam dari bahan tambang yang cukup besar.

Ada dua hal utama yang membedakan antara Bumi dengan planet-planet yang lain di dalam Sistem Tata Surya, yaitu:

1) Bumi memiliki air dalam jumlah besar dan membentuk sub-sistem hidrosfer sedang planet-planet yang lain tidak memiliki air. Dengan kata lain, hidrosfer hanya dijumpai di Bumi dan tidak dijumpai di planet-planet yang lain.

2) Di Bumi terdapat fenomena tektonik lempeng sedang di planet-planet yang lain tidak ada. Fenomena tektonik lempeng mengindikasikan bagian internal Bumi yang cair dan memiliki energi panas yang tinggi.

Berlangsungnya siklus hidrologi, siklus batuan dan siklus tektonik di Bumi berkaitan erat dengan keberadaan dua hal tersebut. Siklus hidrologi tidak dapat berlangsung bila di Bumi tidak ada hidrosfer, sedang siklus batuan dan tektonik tidak dapat berlangsung bila tidak ada tektonik lempeng. Dengan demikian, bila keberadaan hidrosfer dan tektonik lempeng hanya ada di Bumi, maka ketiga siklus tersebut hanya berlangsung di Bumi dan tidak dapat berlangsung di planet-planet yang lain.

Tsunami adalah fenomena gelombang raksasa yang melanda ke daratan. Fenomena ini dapat terjadi karena gempa bumi atau gangguan berskala besar di dasar laut, seperti longsoran bawah laut atau erusi letusan gunungapi di bawah laut (Skinner dan Porter, 2000). Gelombang tsunami dapat merambat sangat cepat (dapat mencapai kecepatan 950 km/jam), panjang gelombangnya sangat panjang (dapat mencapat panjang 250 km). Di samudera, tinggi gelombang tsunami cukup rendah sehingga sulit diamati, dan ketika mencapai perairan dangkal ketinggiannya dapat mencapai 30 m. Sifat kedatangan gelombang tsunami sangat mendadak dan tidak adanya sistem peringatan dini merupakan penyebab dari banyaknya korban jiwa yang jatuh ketika gelombang tsunami melanda ke daratan pesisir yang banyak penduduknya. Contoh yang paling mutakhir peristiwa kencana tsunami ini adalah ketika tsunami melanda pesisir barat dan utara Pulat Sumatera di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004.

Tsunami yang terjadi karena gempa bumi atau longsoran di bawah laut kejadiannya berkaitan erat dengan sistem interaksi lempeng kerak bumi yang membentuk sistem penunjaman dan palung laut dalam. Sementara itu, tsunami yang terjadi karena erupsi letusan gunungapi kejadiannya berkaitan erat dengan kehadiran gunungapi bawah laut, baik yang muncul di permukaan laut maupun yang tidak muncul di permukaan laut. Dengan demikian, potensi suatu kawasan pesisir untuk dilanda tsunami dapat diperhitungkan dari keberadaan sistem penunjaman lempeng yang membentuk palung laut dalam, dan keberadaan gunungapi bawah laut. Meskipun demikian, kita tidak dapat melakukan prediksi tentang kapan akan terjadinya tsunami karena kita tidak dapat melakukan prediksi tentang kapan terjadinya gempa, longsoran bawah lautm atau letusan gunungapi bawah laut yang dapat mencetuskan tsunami.

Dalam sejarah moderen, di Indonesia pernah terjadi tsunami karena erupsi letusan gunungapi, yaitu ketika Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus pada tahun 1883. Sementara itu, tsunami yang terjadi karena londsoran bawah laut pernah terjadi pada tahun 1998 di sebelah utara Papua New Guinea (Synolakis dan Okal, 2002; Monastersky, 1999).

Dari uraian tentang tsunami dan berbagai pencetusnya itu, maka kita dapat menentukan kawasan-kawasan pesisir yang potensial untuk terlanda tsunami, yaitu dengan memperhitungkan posisi kawasan-kawasan pesisir terhadap keberadaan sistem penunjaman dan palung laut dalam, serta kehadiran gunungapi bawah laut, meskipun kita tidak dapat menentukan kapan tsunami akan terjadi. Bagi Kepulauan Indonesia, posisi geografisnya yang diapit oleh dua samudera (Samudera Pasifik dan Hindia), serta posisi tektonik yang terletak di kawasan interaksi tiga lempeng kerak bumi utama, dan kehadiran gunungapi bawah laut membuatnya menjadi sangat potensial untuk terkena bencana tsunami. 

                                                konsisi Aceh saat terjadi Tsunami


                                                kondisi Aceh pasca Tsunami